MENUJU CAHAYA, ,MENJADI CAHAYA

By | Rabu, April 28, 2010 Leave a Comment
--refleksi perjalanan saya di FLP Jatinangor--


Ketika menulis catatan ini, saya sedang khusyuk mendengarkan lagu favorit saya, yang didendangkan oleh Letto. Judulnya, “Sebelum Cahaya”. Entah, lagu tersebut selalu menjadi trigger buat saya ketika menuliskan apapun di laptop compaq jadul saya.

“Ingatkah engkau kepada, embun pagi bersahaja. Yang menemanimu, sebelum cahaya... Ingatkah engkau kepada, angin yang berhembus mesra. Yang kan membelaimu...cinta...”

Bait syair inilah yang kemudian membuat saya terlempar ke masa lalu. Masa di mana saya baru menjejak kaki di Jatinangor. Tetapi, kisah hidup tentang bagaimana saya berupaya survive selama kuliah, barangkali engkau sudah bosan menyimaknya.
Baiklah. Saya hanya ingin bercerita kepadamu tentang Forum Lingkar Pena cabang Jatinangor, di mana saya menjadi ketuanya, kini. FLP adalah komunitas yang turut membesarkan diri saya.

Saya masuk FLP Jatinangor pada 2007. Saat itu, saya diajak oleh kakak tingkat di Fikom, bernama Ragil Romly. Terus terang, semenjak SMA saya belum bergabung dengan FLP. Saya hanya mendengar atau membaca tentang FLP dan karya-karya aktivisnya, ketika saya menjadi marketer majalah Annida, yang notabene salah satu rahim FLP. Semasa SMA, saya hanya sempat bergabung dengan Sanggar Sastra Siswa Indonesia yang diinisiasi oleh Majalah Sastra Horisson. Sesekali saya pergi ke Rumah Dunia, berguru ilmu gaib kepada Mas Gol A Gong (mungkin mas Gong tidak sadar, bahwa semasa SMA saya pernah datang ke sana). Juga bergelut di Rumah Baca Plus Baitul Hamdi Menes (sekarang TBM BaHa).

Hanya itu kisah perjalanan saya dalam dunia menulis, ketika SMA. FLP, yang notabene sebuah komunitas dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia, tidak saya jajaki. Tahun 2006, saya hijrah dari Banten ke Bandung. Saya berkesempatan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Saya datang ke Unpad dengan satu keyakinan, saya harus menjadi “orang”.

Saya masih ingat, bahwa ketika SMA saya pernah membeli dua buah buku dan satu kaset nasyid. Kedua buku tersebut adalah “Buku Sakti Menulis Fiksi” dan “How To Be a Smart Writer” karya Afifah Afra. Saya tidak hendak mengatakan kepada engkau bahwa kedua buku itu yang membuat saya bisa menulis. Tetapi, buku tersebut merupakan pemicu saya untuk mendapatkan buku-buku yang lainnya. Adapun kaset nasyid, adalah album Brother, yang entah di mana sekarang.

Saya juga termasuk orang yang percaya dengan kekuatan kata-kata (sekarang saya tahu konsep “Law of Attraction”—bener gak ni nulisnya?). Bermodalkan kedua buku yang saya baca itu, dan majalah Annida yang juga sering saya baca dahulu, saya mengaku sebagai seorang penulis. Kepada setiap kawan yang bertemu, atau dalam setiap kesempatan memperkenalkan diri, saya dengan tanpa dosa mengaku bahwa saya adalah seorang (yang ingin berproses menjadi) penulis. Semua kawan pun yakin, bahwa saya adalah seperti apa yang saya kenalkan.

Kembali ke awal mula saya masuk ke FLP Jatinangor. Tahun 2007, di suatu sore saya diajak Ragil untuk datang ke kumpulan FLP. Kumpulnya di selasar Fisip Unpad. Terus terang, waktu itu sama sekali tidak ada ketertarikan dalam diri saya untuk bergabung dengan FLP. Di sana saya bertemu dengan beberapa orang anggota FLP. Mereka di antaranya Haden (pencipta lagu-lagu Haroki Shoutul Harokah), Risna Ameliya, Prima Mutiara, Susi Susanti, Ayu, dan Sri Maryani. Prima, Susi, Ayu, dan Sri, saat itu masih duduk di kelas 3 SMA Tanjungsari. Ingat betul saya betapa mereka setiap pekan datang dengan masih berseragam putih-abu-abu.

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan “sesuatu” di komunitas ini. Sesuatu yang membuat saya nyaman. Entah, mungkin taste nyaman menurut saya berbeda dengan yang lain. Karena, di saat saya merasakan kenyamanan, beberapa kawan malah murca dari peredaran.

Saya bertanya heran dengan apa yang saya temukan. Kemudian, cerita memilukan saya dengar dari mulut Sri Maryani. Bahwa mereka yang tergabung di FLP adalah “tumbal”. Mengapa “tumbal”? Begini ceritanya, ketika mereka ingin bergabung dengan FLP Jatinangor, mereka disambut dengan antusias oleh pengurusnya saat itu. Waktu itu, pengurus FLP sedang dalam masa akhir kuliah—ada juga yang tinggal menanti wisuda. Mereka—Sri Maryani Cs.—disambut dengan gembira oleh segenap pengurus. Bahkan, pengurus FLP-J mengadakan field trip untuk menyambut mereka. Tetapi, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, alih-alih mereka diterima sebagai anggota baru FLP-J, ternyata mereka ditumbalkan.

Pengurus FLP yang akan lulus ini akan meninggalkan FLP-J. Dan mereka yang baru diterima ini, di acara field trip ini langsung dikukuhkan sebagai pengurus. Bukan sebagai anggota biasa yang—seharusnya—memerlukan pembinaan. Edan, kan?!
Dari sana, Sri Maryani Cs meski hanya bermodalkan semangat menulis selalu datang tiap pekan dari Tanjung Sari ke Unpad. Setiap pekan, tanpa kepastian prospek seperti apa.
Makanya, ketika saya bergabung dan mengikuti pertemuan rutin, yang datang kadang hanya lima atau tiga orang. Pernah juga hanya dua orang, bahkan hanya sendirian. Dan ini berlangsung selama hampir dua tahun!

Saya pun sempat putus asa, ketika satu per satu anggota FLP menghilang, dan menyisakan saya, Sri, Prima, Susi, dan Risna. Namun, saya kembali membuka buku “How To Be A Smart Writer” dan “Buku Sakti Menulis Fiksi”, kedua buku itu kembali memberikan energi kepada saya. Saya juga tertampar dengan pengakuan saya kepada setiap kawan, bahwa saya adalah penulis. Saya berkeyakinan, seorang penulis bukanlah orang yang mudah menyerah dengan keadaan yang tidak mendukungnya. Karena energi seorang penulis justru suasana yang tidak mendukung. Entah, dari mana saya mendapatkan kesimpulan ini.

Awal 2008, FLP-J benar-benar telah memperlihatkan napas syakaratul maut. Haden yang saat itu ditunjuk sebagai koordinator sementara, hengkang. Saya pun memaklumi, karena beliau sudah berkeluarga, dan harus disibukkan dengan bagaimana mencari nafkah dan sebagainya. tapi saya tidak habis pikir dengan sebagian anggota yang lain. Hingga menyisakan saya, Prima, Susi, Sri dan Risna.

Setiap pekan, kami berkumpul entah membicarakan apa. Tak ada juntrungan, tak ada maksud, dan tak ada tujuan. Hanya sebatas berkumpul. Saya lalu berontak dengan keadaan ini. Saya mengambil alih pimpinan FLPJ, meskipun tanpa Muscab.
“Oke, sekarang saya yang jadi koordinator,” kata saya, tanpa menyebut saya sebagai ketua.

Setelah mendapat pengaminan dari sahabat-sahabat seperjuangan di FLP-J yang tersisa, saya lalu mengeluarkan “kenakalan” saya. Sifat saya yang SKSD (sok kenal sok dekat) kambuh secara tiba-tiba dan ganas luar biasa. Saat itu juga, saya menelpon Pak Irfan Hidayatullah (saat itu sebagai ketua FLP Pusat). Saya belum kenal saat itu dengan beliau. Saya rajin menemui beliau tiap pekan di kampus tempat mengajarnya. Saya sampaikan keluh saya kepada beliau. Dan dari beliau, saya lalu diberikan tenaga dalam. Tenaga dalam itu adalah himbauan untuk tetap bersabar. Apa? Sabar? Tai kucing!
Saya benar-benar tidak mengindahkan nasehat beliau, kala itu. Saya memang meledak-ledak terkadang, dan mau menang sendiri. Saya kemudian mengumpulkan kawan-kawan saya, yang kondisinya persis orang-orang kelaparan yang tinggal menanti ajal. Terlebih mereka dihadapkan dengan Ujian Nasional, yang harus membagi konsentrasi antara FLPJ dan ujian. Bahkan, ada yang mundur perlahan-lahan.

“Bagaimana kalau kita adakan Open Recruitment?” itu usul Prima, saya masih ingat.

“Bagaimana itu?” tanya saya, yang memang tidak tahu.

“Kita buka pendaftaran anggota baru. Kalau sudah begitu, jumlah kita akan membanyak.”

“Lalu, mereka akan kita kondisikan sebagai tumbal seperti kita-kita ini?” saya menyemburkan api penolakan.

Saya menyesal. Saat itu saya lihat Prima harus menelan usul yang barusan dimuntahkannya. Saya memang temperamen saat itu—belum dewasa kali ya,he-he-he.
Meskipun saya menolak usul Prima, dalam hati saya mengakui bahwa usulnya adalah usul yang bagus. saya lalu mati-matian merealisasikan usul Prima, yang terlanjur saya kecewakan. Saya langsung menghubungi Pak Irfan, meminta petunjuknya. Kebetulan, saat itu buku beliau baru saja terbit. Judulnya “Perempuan Bersayap Surga” diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Pak Irfan pun setuju dengan kegiatan OR, sekaligus launching bukunya.

Saya langsung menghubungi kawan-kawan saya. Prima bukan main senangnya, karena usulnya siap direalisasikan. Proposal pun dibuat seadanya. Saya sendiri datang ke Penerbit Mizan dan bertemu dengan Pak Aga—humas Mizan. Saya jelaskan kepadanya, bahwa saya dan kawan-kawan hebat saya akan mengadakan launching buku itu dengan meriah. Pak Aga pun luluh dengan rayuan maut saya, dan siap membantu.

Beberapa orang yang sekiranya sukarela menjadi pembicara, dicari oleh Prima. Alhamdulillah, acara tersebut berjalan pada akhirnya. Acara itu bertempat di Jatos (Jatinangor Town Square), dengan jumlah peserta tidak lebih dari lima belas orang. Sementara panitianya, hanya 4 orang. Sekali lagi, HANYA 4 ORANG. Panitianya hanya seorang anak kuliahan sok tahu, dan tiga orang siswi SMA yang sedang akan menghadapi Ujian Nasional. Untungnya, Risna Ameliya yang sempat hilang dari peredaran turut membantu dengan membuat publikasi seadanya. Juga Ragil, ikut membantu meski hanya menjadi MC acara. Alhamdulillah, itu anugerah luar biasa buat saya dan kawan-kawan SMA saya.

Ketiga pembicara yang kami undang adalah Pak Irfan Hidayatullah, Amalia Zahra (eks pengurus FLPJ—katanya), dan Indra Kusumah (trainer Trusco). Saya mengucap syukur dengan ketiga pembicara ini. Mereka rela dibayar hanya dengan satu buah Al Qur’an besar. Saya terharu dengan jiwa besar mereka. Dan itu menjadi semacam pelajaran buat saya.

Dari kegiatan itu, yang mendaftar untuk menjadi anggota FLPJ hanya dua orang. Lelaki semua. Ini ancaman buat saya, karena selama ini saya adalah anggota FLPJ yang paling ganteng^^. Kedua orang itu adalah Herdiyan dan Tareq Brasabda. Tareq kemudian pindah ke FLP Bandung karena Ko-As yang diikutinya bertempat di Bandung, selain karena FLP Bandung telah mapan, barangkali.

Adapun Herdiyan, lagi-lagi menjadi korban kediktatoran saya. Saya memaksanya untuk menjadi ketua FLP Jatinangor. Karena saya waktu itu hanya menjadi koordinator sementara. Herdiyan pun tak berdaya, luluh oleh rayuan maut saya. Namun, karena Herdiyan sedang menatap skripsi, lagi-lagi saya yang menjadi tumbal. Herdiyan jarang datang ke pertemuan pekanan, sementara saya sendiri tidak mampu mempertahankan kawan SMA saya. Susi menghilang, karena aktivitas kerja dan kuliahnya di Al Ma’soem. Ayu juga demikian, dia hengkang karena kuliah UIN SGD. Prima pun mulai angin-anginan, karena kuliah dan aktivitasnya mulai menyita waktunya—dia kuliah di Unwim. Yang tersisa, hanya saya dan Sri Maryani—yang saat itu mulai diterima kuliah di UPI Bandung.

Bingung apa lagi yang harus dilakukan, saya akhirnya enggan menemui Pak Irfan. Karena saya sudah yakin, mantra usang yang akan diberikannya: SABAR. Saya lalu “mengobral murah” harga FLPJ. Saya persilakan kepada siapa saja yang mau bergabung dengan FLPJ. Akhirnya, ada juga yang mau bergabung. Tetapi itulah, satu per satu bak melintasi segitiga bermuda.

Benang kesabaran saya pun mulai rapuh. Saya kemudian merayapi apa-apa yang disampaikan oleh Pak Irfan. Mantra usang dari beliau mulai saya kemuti. Saya akhirnya menyimpulkan, bahwa sumber tidak berkembangnya FLPJ adalah diri saya sendiri. Saya masih memosisikan diri sebagai sales FLPJ. Saya berjualan produk bernama FLPJ. Saya harus mengubah diri saya, yang semula sebagai sales, berubah menjadi Public Relation. Saya harus membangun citra FLPJ.

Berpikirlah saya. Akhirnya, mantra sakti dari Pak Irfan saya ambil. Kesabaran memang dibutuhkan dalam perjuangan. Saya tiba-tiba menjadi orang yang bak kesurupan. Saya menjadi rakus sekali ketika melihat buku. Birahi membaca saya menggelegak seketika kala bermain ke toko buku. Dengan uang—yang kadang-kadang ngutang—saya angkut buku-buku di toko, dan mulai memenuhi meja belajar saya. Saya baca buku-buku. Pelan tapi pasti, aktivitas membaca itu saya imbang dengan aktivitas menulis. Saya pun sadar, bahwa selama ini saya kumpul pekanan namun tidak menyempatkan diri untuk menulis. Sebuah kesalahan besar!

Saya terus menulis. Pengakuan saya kepada kawan-kawan bahwa saya adalah penulis, ibarat paku di kepala Suketi yang kalau dicabut sontak akan mengubahnya menjadi sundel bolong. Saya harus tetap menancapkan paku itu, agar tidak tercerabut dan menunjukkan sosok saya yang sebenarnya. Menulis...menulis....menulis....setiap pagi.
Pertengahan 2008, naskah yang saya juduli “Beginilah Seharusnya Hidup” diterbitkan oleh Indiva Media Kreasi. Bukan main, senangnya saya. Momen eureka! merambati saya. Hingga semua nomor yang ada di phonbook hape saya, saya kabari. Saya persis menjelma Archimides yang lari telanjang bulat karena telah mendapatkan sesuatu.

Setelah momen itu, FLPJ mulai banyak yang melirik. Angkatan pertama di era saya menjadi ketua—setelah Herdiyan—adalah angkatan Kun Ken Cs. Mereka mengadakan OR dengan mengadakan acara bertajuk “Indie: Kreativitas Vs Pasar”, dengan pembicara Irfan Hidayatullah (orang yang ternyata terus membantu pertumbuhanku dan FLPJ), Muthmainnah, dan Dani Setiawan (penulis indie dan pelantun Rembulan di Langit Hatiku). Banyak juga yang mendaftar. Hingga kini, FLPJ memiliki generasi unggul semacam Mahab Adib Abdillah (film maker, dan novelis masa depan), Nugraha Hadiwijaya (pelukis merangkap gombalis, yang juga calon novelis hebat), Wianti Aisyah (yang paling semangat mengabari jadwal kumpul), Fitria Mahrunnisa (maniak Catin), Alma (narasumber sebuah radio), Windra (penulis potensial yang masih malu-malu), Kun Ken (penulis nonfiksi hebat) dan yang lainnya (maaf tak tersebut semuanya, kawan-kawan adalah permata buat saya). Bahkan pada awal 2010, Revika Rachmaniar menerbitkan novel perdananya berjudul “Cintaku di Taman Surga-Mu”.

Saya kini bisa melihat kerja keras selama ini. Sekali lagi, benar kata Pak Irfan, di manapun kesabaran akan selalu berbuah indah. Ini berkat kesabaran, kesabaran yang bukan kepasrahan. Kini, bersama kawan-kawan generasi platinum di FLPJ, saya bisa melihat perjuangan yang dulu ditebus dengan hati sekerat-demi sekerat. Kawan-kawan yang baru, kini tanpa saya minta telah menambal hati saya yang hangus dahulu. Sri Maryani, meski telah menjadi mahasiswa UPI, entah mengapa tak mau pindah dari FLPJ ke FLP Bandung. Mungkin, di FLPJ keringat dan darahnya telah tumpah. Terima kasih, Sri!
Ah, masih sangat panjang cerita ini. Banyak momen yang saya tidak ceritakan di sini, momen yang bahkan membuat saya menumpahkan air mata. Kini, Tasaro GK (ketua FLP Jawa Barat) selalu menyuntikkan tenaga dalam kepada saya. Untuk tetap survive dalam dunia penulisan. Alhamdulillah, hampir enam buku sudah saya hasilkan. Semoga ke depan bisa lebih baik lagi.

Beberapa nama harus saya sebut di sini: Pak Irfan, Topik Mulyana (inisiator FLPJ), Tasaro, dan terutama Sri Maryani. Yang sudah bersama-sama mengawal perjalanan FLPJ hingga usianya yang ke-sepuluh ini. Saya merasa gembira, dan tak terkata kegembiraan itu. Kini saya bisa dengan bangga mengatakan, bahwa FLPJ bisa disejajarkan dengan FLP Bandung, FLP Depok, FLP di Jateng, Jatim, dan wilayah mapan lainnya. Karena apa? Karena saya melihat pancaran perjuangan di wajah kawan-kawan saya.


Bravo FLPJ! Menulis: Mengabdi, Mengabadi...
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar: