Cerpen: Risman Ginarwan,
Anggota FLP Jatinangor Angkatan 2012
Malam ini sangatlah dingin kurasakan. Bercampur
dalam sebuah paradoks kehidupan jalanan. Sedih sangatlah sedih, dalam garis
khatulistiwa. Merasakan cinta, romansa dalam satu paket kebahagiaan keluarga.
Jangankan bisa bermimpi tuk masa depan – masa tua – esok pun masih membutuhkan
tanda tanya bagi mereka. Ada ataukah tiada? Apa musabab anak-anak ingusan itu
berada di sana? Di bawah pohon-pohon tua, lapuk kulitnya pula.
Terlihat sepi dari tempat kaki berpijak sampai
hujung kota sana. Yang ada hanyalah trotoar-trotoar basah yang terludahi langit
sore tadi, rintik hujan kecil bergerombolan. Jalanan berkubang, genangan air
dipecahkan sang kuda besi milik orang. Kotak besar di belakang kuda itu, entah
apa. Mungkin kuda itu membawa barang orang pula. Juga, kuda-kuda besi
alternative kesana-kemari, menuju tempat kerja ataupun kembali menuju rompoknya
lagi.
Rindang pohon pun masih layu, bukan segar yang ada
ditampar hujan petang tadi. Malam yang dingin kembali dengan harmoni.
Tapi… Ya Tuhan. Aku terkejut dengan anak-anak
ingusan yang masih bergelantungan dalam romansa kejam kehidupan malam. Dalam
dekapan hangat nyanyian-nyanyian malamnya yang sedikit bisu – hampir tak
bersuara – dengan keroncong kecil dalam apitan tangannya (mungkin warisan Opa
nya tempo dulu…)
Aku termenung kembali melihat anak-anak ingusan
itu dengan satu kaki kanan kayu, lumpuh satu. Jingkat-jingkat tak seimbangkan
diri, masih berlari menuju pusat jalan
lampu merah.
“Lihat! Lampu memerah, Bung!” Seru lirih satu anak
ingusan si kaki kayu dengan kecrekan usung di tangan kiri (tak bisa dia
memegang gitar dengan satu tangan).
“Bung!” Mungkin itu panggilan akrab sesama
anak-anak ingusan di jalanan. Bak proklamator-proklamator dulu saja mereka itu!
Aneh, tapi hebat… “Bung!”
“Merah, Bung!” Teriak kasar anak ingusan yang
memegang gitar kroncong. Mungkin itu kakaknya, atau teman seperjuangannya yang
langsung berlari mendekat dari kaca ke kaca, dari pintu ke pintu kuda-kuda besi
yang berhenti paksa lampu merah pembawa rizky anak-anak ingusan tadi. Pun demi
selembar ataupun beberapa kertas-kertas penunjang kehidupan mereka.
Malam ini penuh dengan pekik pengorbanan dan
perjuangan bagi mereka, entah juga di malam-malam sebelumnya, mungkin sama.
***
Jalanan… Oh jalanan…
Inikah hidup mereka di malam hari? Di mana Amak
dan Apak-apak mereka ini? Semua ini, lebih kejam dari pada zaman Quraisy dengan
Nabi dulu. Anak-anak ingusan menjadi mesin pekerja mereka – Amak dan Apak –
Benarkah ? Tak kasihan kah ?
Jangan
katakan Amak dan Apak mereka kini bersembunyi di balik bilik-bilik tua nan
rapuh, yang penuh dengan debu-debu dosa. Besama Iblis berpanorama dan menjelma
Bidadari alis tipis untuk Apak, ataupun Amak yang hanya diam dan berdendang
irama Lawas di tape recorder tuanya!
Denguslah Amak dan Apak macam itu! Apa musabab semua
ini?
Aku tak sempat fikir seperti itu sebelumnya. Ya
Tuhan.
Kini, aku masih terpaku di warkop malam, entah
milik siapa… Di Jalan Elim ini. Ditemani secangkir kopi campur wedang jahe yang
cukup menyelimuti usus-usus ku yang kaku – kedinginan – bisu. Aroma dan rasanya
menyatu dan melambai-lambai lewat asap tipisnya ke hidung ku yang kaku pula.
Mendinginkan keringat-keringat yang tadi petang keluar dari pori kulit ku.
“Da, sudahkah kau isi perutmu itu dengan sesuap
nasi putih malam ini?” Pesan singkat membangunkan keheningan pikiranku saat
itu. Ternyata Anne, kekasihku. Sosok yang penuh peduli dengan keadaanku.
Kapanpun, dimanapun selalu ada bersamaku walaupun kini tak sedang ada di
sisiku. Mungkin hanya saat ini. Dia seorang yang tak bisa kubahasakan walaupun
dengan tinta murni dan secarcik kertas putih. Tidak bisa.
Dan mereka? Anak-anak ingusan jalanan Emil di
malam hari. Ya Tuhan. Tak ada yang pedulikan mereka, acuh hanya ada untuk
mereka, kasihan.
Masa ini hanya syukurku yang bisa terus ku ucap
pada-Mu selalu. Setiap saat, setiap waktu. Dalam sujud pengakuan dosa
ku-Agungkan Asma-Mu selalu. Di saat malam pekat ataupun siang benderang pucat.
Seperti saat ini, walaupun tidak dengan sajadah suci milik-Mu. Syukur ku
pada-Mu.
***
“Berapa uang yang didapati, Bung?” Tanya seorang
anak ingusan yang kecil – tak pincang – suara lirih“mungkin banyak?” Lanjutnya
kembali menyusul.
“Bersabarlah, kan ku hitung uang ini” Timpal si
kaki kayu “Satu… dua… hanya tiga ribu rupiah saja”Sambungnya menghitung bangga.
“Tak apalah
sedikitpun”
“Cukuplah makan berdua malam ini”
Sedikit tertampar badan ini dengan desahan alam
malam. Angin memecah asap tipis wedang jahe ku yang mulai tiriskan diri ini.
Desah angin dingin. Mereka tak ayal lagi dengan gempuran angin malam yang cukup
menusuk kulit ari ini. Kopi pun tak akan cukup lagi menghangatkan ususku yang
mulai kedinginan kembali. Entah bagaimana usus anak-anak ingusan itu, mungkin
punyai bulu penghangat yang sudah terbiasa dengan semua keadaan ini.
Ya Tuhan sekali lagi aku bersyukur atas semua
kehidupanku yang mencukupi ini.
***
Malam, kini mulai mencekam badan dengan dinginnya
selalu. Masih merayu orang ‘tuk bercumbu dengan selimut-selimut kehangatan yang
melahirkan mimpi-mimpi palsu. Tapi anak-anak ingusan itu masih bergelayunan
dalam lamunan. Mencari dan mencukupi lembaran yang telah mereka cari tuk sesuap
nasi sejak tadi pagi.
“Ternyata, hidup itu bertaburkan tantangan yang
berakhir dengan ucap syukur kepastian dan kesungguhan qalbu, sungguh sangatlah indah
ku rasakan. Kita pun mesti seperti itu selalu. Teruntuk kasih di dalam hidupku,
walaupun dalam dunia yang berbeda, Bada Lovely.”
Ah… kali ini aku tersenyum simpul lebih lebar
bersamaan dengan hatiku yang lebih tegar. Anne Az-Zahra. Pengisi hati kekosongan
diri. Kata-kata tak bersuara namun bermakna segala rupa selalu tersampaikan
padaku saat suka ataupun duka. Selalu, setiap waktu yang berbeda.
“Sekarang aku melihat anak-anak ingusan yang hidup
dengan tantangan yang lebih dalam garis khatulistiwa ini, berakhir ucap syukur
pula di bibir-bibir lembut mereka. Syukurku ucapkan sangat untuk-Nya. Selalu di
hati, Anne…”
Ibu jari ini lihai kesana-kemari mencari huruf
mengirim balik pesan Anne-ku tadi. Terbayang sudah senyum indah dengan lesung
tipis di pipinya. Subhanallah…
“Syukur ku pun untuk-Nya pula… aku tidur duluan
ya, Bada. Sampai bertemu di telaga mimpi, di pelabuhan samudera milik Ilahi.
Bada tercinta…”
Cepat membalas balik pesan singkat ku. Dan sekali
lagi bibirku tersenyum simpul. Namun di sisi lain hatiku masih tercabik,
terbawa hati dengan anak-anak ingusan itu, yang pincang dan yang kecil mungil.
***
Mungkin mereka sudah kenyang dengan santapan malam
yang didapat dari pedagang jalanan, walaupun itu tak seberapa harga bagiku.
Tapi menurut mereka mungkin itu sangat susah tuk di dapat. Kasihanilah mereka,
Ya Tuhan.
“Bung, carilah kau kardus bekas di pengepul sana,”
Tunjuk si kaki kayu menuju ke simpang mereka, tak jauh “di Bang Samad!”
Tegasnya lagi.
“Perlu uang juga, serebu lah cukup mungkin.”
Timpah anak ingusan kecil merengek rasa tak ingin walaupun dalam hati ingin.
“Esoklah kuganti”
“Tak ada sepeserpun tuk kali ini, Bung”
“Terhampar di tanah seperti biasa?”
“Biasa seperti itu, tak apa lah…” Kening kerut
anak ingusan kecil nampak jelas walaupun gelap saat itu.
Jalanan… oh jalanan ….
Kini kau menghantui mereka kembali, dengan
kebingungan mencari alas ‘tuk pergi ke alam mimpi indah mereka. Tak tahukah
mereka ingin mendapatkan telaga yang sering aku janjikan bertemu dengan Anne
sang Bidadari hati bagiku. Malam ini mungkin susah tuk mencari telaga pertemuan
dengan Amak dan Apak mereka berdua. Entah dimana mereka harus mencari alas tuk
landas pergi dan mencari.
“Malam ini kita di bawah pohon lagi,” bisik si
kaki kayu lirih. “Tak apalah….”
“Tak apalah,” ucap si kecil ingusan, “kita sering
terhibur dengan gemerlapnya taburan bintang milik Tuhan itu. Lihat di sana, di
atas sana, Bung!” Telunjuk kecil mungil mengarah ke atas langit malam yang luas
di bawah hamparan tanah kota Elim.
“Baiklah….”
Aku termenung, dan kemudian terkagum dengan
tingkah laku mereka yang tak tahu rasa menusuk dinginnya malam. Menghela nafas
tuk satu skenario adegan harmoni kesabaran anak-anak ingusan.
Ya Tuhan.
Kembali syukur ku untuk-Mu yang kesekian kali.
Sungguh besar kasih sayang-Mu untuk ku. Tapi, aku memohon pada-Mu, sisihkanlah
untuk mereka. Anak-anak ingusan.
Sampaikan salamku untuk mereka yang terhampar di
bawah pohon-pohon penuh kegelapan, walaupun lampu temaram taman tak lagi
benderang menyinari malam hari. Indahnya arti syukur dan kesabaran di dalam
kehidupan yang mereka hadapi, mengubah hati ‘tuk selalu ingat Khaliqul ‘alam.
Kopi wedang jaheku tiris tak panas lagi. Asap
tipis menjadi awan-awan kecil yang indah di malam hari bersama bintang yang
menghibur anak-anak ingusan di bawah mimpi. ***
Garut, Mei 201
Risman Ginarwan, lahir di Bandung, 04 April 1994.
Tulisannya tergabung dalam dua antologi cerpen “Cinta Membaca 2 (Leutika Prio)
dan “Pelangi Tanpa Jingga” serta pernah 3 kali menjuarai cerpen. Penulis bisa
dihubungi ke FB: Risman Ginarwan.
0 komentar: