Anak-anak Ingusan (Risman Ginarwan)

By | Rabu, Oktober 16, 2013 Leave a Comment
Cerpen: Risman Ginarwan,
Anggota FLP Jatinangor Angkatan 2012

Malam ini sangatlah dingin kurasakan. Bercampur dalam sebuah paradoks kehidupan jalanan. Sedih sangatlah sedih, dalam garis khatulistiwa. Merasakan cinta, romansa dalam satu paket kebahagiaan keluarga. Jangankan bisa bermimpi tuk masa depan – masa tua – esok pun masih membutuhkan tanda tanya bagi mereka. Ada ataukah tiada? Apa musabab anak-anak ingusan itu berada di sana? Di bawah pohon-pohon tua, lapuk kulitnya pula.


Terlihat sepi dari tempat kaki berpijak sampai hujung kota sana. Yang ada hanyalah trotoar-trotoar basah yang terludahi langit sore tadi, rintik hujan kecil bergerombolan. Jalanan berkubang, genangan air dipecahkan sang kuda besi milik orang. Kotak besar di belakang kuda itu, entah apa. Mungkin kuda itu membawa barang orang pula. Juga, kuda-kuda besi alternative kesana-kemari, menuju tempat kerja ataupun kembali menuju rompoknya lagi.
Rindang pohon pun masih layu, bukan segar yang ada ditampar hujan petang tadi. Malam yang dingin kembali dengan harmoni.
Tapi… Ya Tuhan. Aku terkejut dengan anak-anak ingusan yang masih bergelantungan dalam romansa kejam kehidupan malam. Dalam dekapan hangat nyanyian-nyanyian malamnya yang sedikit bisu – hampir tak bersuara – dengan keroncong kecil dalam apitan tangannya (mungkin warisan Opa nya tempo dulu…)
Aku termenung kembali melihat anak-anak ingusan itu dengan satu kaki kanan kayu, lumpuh satu. Jingkat-jingkat tak seimbangkan diri, masih berlari menuju  pusat jalan lampu merah.
“Lihat! Lampu memerah, Bung!” Seru lirih satu anak ingusan si kaki kayu dengan kecrekan usung di tangan kiri (tak bisa dia memegang gitar dengan satu tangan).
“Bung!” Mungkin itu panggilan akrab sesama anak-anak ingusan di jalanan. Bak proklamator-proklamator dulu saja mereka itu! Aneh, tapi hebat… “Bung!”
“Merah, Bung!” Teriak kasar anak ingusan yang memegang gitar kroncong. Mungkin itu kakaknya, atau teman seperjuangannya yang langsung berlari mendekat dari kaca ke kaca, dari pintu ke pintu kuda-kuda besi yang berhenti paksa lampu merah pembawa rizky anak-anak ingusan tadi. Pun demi selembar ataupun beberapa kertas-kertas penunjang kehidupan mereka.
Malam ini penuh dengan pekik pengorbanan dan perjuangan bagi mereka, entah juga di malam-malam sebelumnya, mungkin sama.
***
Jalanan… Oh jalanan…
Inikah hidup mereka di malam hari? Di mana Amak dan Apak-apak mereka ini? Semua ini, lebih kejam dari pada zaman Quraisy dengan Nabi dulu. Anak-anak ingusan menjadi mesin pekerja mereka – Amak dan Apak – Benarkah ? Tak kasihan kah ?
 Jangan katakan Amak dan Apak mereka kini bersembunyi di balik bilik-bilik tua nan rapuh, yang penuh dengan debu-debu dosa. Besama Iblis berpanorama dan menjelma Bidadari alis tipis untuk Apak, ataupun Amak yang hanya diam dan berdendang irama Lawas di tape recorder tuanya!
Denguslah Amak dan Apak macam itu! Apa musabab semua ini?
Aku tak sempat fikir seperti itu sebelumnya. Ya Tuhan.
Kini, aku masih terpaku di warkop malam, entah milik siapa… Di Jalan Elim ini. Ditemani secangkir kopi campur wedang jahe yang cukup menyelimuti usus-usus ku yang kaku – kedinginan – bisu. Aroma dan rasanya menyatu dan melambai-lambai lewat asap tipisnya ke hidung ku yang kaku pula. Mendinginkan keringat-keringat yang tadi petang keluar dari pori kulit ku.
“Da, sudahkah kau isi perutmu itu dengan sesuap nasi putih malam ini?” Pesan singkat membangunkan keheningan pikiranku saat itu. Ternyata Anne, kekasihku. Sosok yang penuh peduli dengan keadaanku. Kapanpun, dimanapun selalu ada bersamaku walaupun kini tak sedang ada di sisiku. Mungkin hanya saat ini. Dia seorang yang tak bisa kubahasakan walaupun dengan tinta murni dan secarcik kertas putih. Tidak bisa.
Dan mereka? Anak-anak ingusan jalanan Emil di malam hari. Ya Tuhan. Tak ada yang pedulikan mereka, acuh hanya ada untuk mereka, kasihan.
Masa ini hanya syukurku yang bisa terus ku ucap pada-Mu selalu. Setiap saat, setiap waktu. Dalam sujud pengakuan dosa ku-Agungkan Asma-Mu selalu. Di saat malam pekat ataupun siang benderang pucat. Seperti saat ini, walaupun tidak dengan sajadah suci milik-Mu. Syukur ku pada-Mu.
***
“Berapa uang yang didapati, Bung?” Tanya seorang anak ingusan yang kecil – tak pincang – suara lirih“mungkin banyak?” Lanjutnya kembali menyusul.
“Bersabarlah, kan ku hitung uang ini” Timpal si kaki kayu “Satu… dua… hanya tiga ribu rupiah saja”Sambungnya menghitung bangga.
“Tak apalah  sedikitpun”
“Cukuplah makan berdua malam ini”
Sedikit tertampar badan ini dengan desahan alam malam. Angin memecah asap tipis wedang jahe ku yang mulai tiriskan diri ini. Desah angin dingin. Mereka tak ayal lagi dengan gempuran angin malam yang cukup menusuk kulit ari ini. Kopi pun tak akan cukup lagi menghangatkan ususku yang mulai kedinginan kembali. Entah bagaimana usus anak-anak ingusan itu, mungkin punyai bulu penghangat yang sudah terbiasa dengan semua keadaan ini.
Ya Tuhan sekali lagi aku bersyukur atas semua kehidupanku yang mencukupi ini.
***
Malam, kini mulai mencekam badan dengan dinginnya selalu. Masih merayu orang ‘tuk bercumbu dengan selimut-selimut kehangatan yang melahirkan mimpi-mimpi palsu. Tapi anak-anak ingusan itu masih bergelayunan dalam lamunan. Mencari dan mencukupi lembaran yang telah mereka cari tuk sesuap nasi sejak tadi pagi.
“Ternyata, hidup itu bertaburkan tantangan yang berakhir dengan ucap syukur kepastian dan kesungguhan qalbu, sungguh sangatlah indah ku rasakan. Kita pun mesti seperti itu selalu. Teruntuk kasih di dalam hidupku, walaupun dalam dunia yang berbeda, Bada Lovely.”
Ah… kali ini aku tersenyum simpul lebih lebar bersamaan dengan hatiku yang lebih tegar. Anne Az-Zahra. Pengisi hati kekosongan diri. Kata-kata tak bersuara namun bermakna segala rupa selalu tersampaikan padaku saat suka ataupun duka. Selalu, setiap waktu yang berbeda.
“Sekarang aku melihat anak-anak ingusan yang hidup dengan tantangan yang lebih dalam garis khatulistiwa ini, berakhir ucap syukur pula di bibir-bibir lembut mereka. Syukurku ucapkan sangat untuk-Nya. Selalu di hati, Anne…”
Ibu jari ini lihai kesana-kemari mencari huruf mengirim balik pesan Anne-ku tadi. Terbayang sudah senyum indah dengan lesung tipis di pipinya. Subhanallah…
“Syukur ku pun untuk-Nya pula… aku tidur duluan ya, Bada. Sampai bertemu di telaga mimpi, di pelabuhan samudera milik Ilahi. Bada tercinta…”
Cepat membalas balik pesan singkat ku. Dan sekali lagi bibirku tersenyum simpul. Namun di sisi lain hatiku masih tercabik, terbawa hati dengan anak-anak ingusan itu, yang pincang dan yang kecil mungil.
***
Mungkin mereka sudah kenyang dengan santapan malam yang didapat dari pedagang jalanan, walaupun itu tak seberapa harga bagiku. Tapi menurut mereka mungkin itu sangat susah tuk di dapat. Kasihanilah mereka, Ya Tuhan.
“Bung, carilah kau kardus bekas di pengepul sana,” Tunjuk si kaki kayu menuju ke simpang mereka, tak jauh “di Bang Samad!” Tegasnya lagi.
“Perlu uang juga, serebu lah cukup mungkin.” Timpah anak ingusan kecil merengek rasa tak ingin walaupun dalam hati ingin.
“Esoklah kuganti”
“Tak ada sepeserpun tuk kali ini, Bung”
“Terhampar di tanah seperti biasa?”
“Biasa seperti itu, tak apa lah…” Kening kerut anak ingusan kecil nampak jelas walaupun gelap saat itu.
Jalanan… oh jalanan ….
Kini kau menghantui mereka kembali, dengan kebingungan mencari alas ‘tuk pergi ke alam mimpi indah mereka. Tak tahukah mereka ingin mendapatkan telaga yang sering aku janjikan bertemu dengan Anne sang Bidadari hati bagiku. Malam ini mungkin susah tuk mencari telaga pertemuan dengan Amak dan Apak mereka berdua. Entah dimana mereka harus mencari alas tuk landas pergi dan mencari.
“Malam ini kita di bawah pohon lagi,” bisik si kaki kayu lirih. “Tak apalah….”
“Tak apalah,” ucap si kecil ingusan, “kita sering terhibur dengan gemerlapnya taburan bintang milik Tuhan itu. Lihat di sana, di atas sana, Bung!” Telunjuk kecil mungil mengarah ke atas langit malam yang luas di bawah hamparan tanah kota Elim.
“Baiklah….”
Aku termenung, dan kemudian terkagum dengan tingkah laku mereka yang tak tahu rasa menusuk dinginnya malam. Menghela nafas tuk satu skenario adegan harmoni kesabaran anak-anak ingusan.
Ya Tuhan.
Kembali syukur ku untuk-Mu yang kesekian kali. Sungguh besar kasih sayang-Mu untuk ku. Tapi, aku memohon pada-Mu, sisihkanlah untuk mereka. Anak-anak ingusan.
Sampaikan salamku untuk mereka yang terhampar di bawah pohon-pohon penuh kegelapan, walaupun lampu temaram taman tak lagi benderang menyinari malam hari. Indahnya arti syukur dan kesabaran di dalam kehidupan yang mereka hadapi, mengubah hati ‘tuk selalu ingat Khaliqul ‘alam.
Kopi wedang jaheku tiris tak panas lagi. Asap tipis menjadi awan-awan kecil yang indah di malam hari bersama bintang yang menghibur anak-anak ingusan di bawah mimpi. ***
Garut, Mei 201

Risman Ginarwan, lahir di Bandung, 04 April 1994. Tulisannya tergabung dalam dua antologi cerpen “Cinta Membaca 2 (Leutika Prio) dan “Pelangi Tanpa Jingga” serta pernah 3 kali menjuarai cerpen. Penulis bisa dihubungi ke FB: Risman Ginarwan.


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar: